Safar dan Adab-Adabnya Bagian I
a. Safar atau Bepergian
Safar secara bahasa artinya bepergian dalam jarak yang jauh.[1] Sedangkan secara istilah dapat didefinisikan dengan :
السفر هو الخروج على قصد قطع مسافة القصر الشرعية فما فوقها
“Safar adalah keluar rumah dengan tujuan menempuh jarak safar yang ditetapkan syariat atau lebih dari itu.”[2]
b. Jenis-jenis Safar
Para ulama membagi safar menjadi beberapa jenis, kalangan Hanafiyah misalnya menyatakan bahwa aktivitas bepergian itu dibagi menjadi tiga, yakni : yang pertama adalah safar dalam ketaatan yakni bepergiannya seseorang untuk haji atau jihad. Yang kedua adalah safar mubah seperti untuk berdagang atau jalan-jalan dan yang ketiga ada safar maksiat yakni bepergiannya seseorang untuk berbuat sia-sia, mencuri dan lainnya.[3]
Sedangkan jumhur ulama yakni dari kalangan Syafi’i, Hanbali dan Maliki menyatakan bahwa secara umum safar itu terbagi menjadi dua, safar dalam ketaatan dan safar dalam kemaksiatan. Dan jika diperinci bisa menjadi empat hukum sebagai berikut :
Safar Wajib, seperti perjalanan untuk menunaikan haji fardhu dan jihad jika telah diwajibkan.
Sunnah (dianjurkan), yaitu perjalanan yang berkaitan dengan ketaatan sebagai pendekatan diri kepada Allah, seperti perjalanan untuk berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturahmi, mencari ilmu, atau untuk mentadabburi kebesaran ciptaan Allah.
Mubah, seperti perjalanan untuk berdagang.
Haram, yaitu perjalanan untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.[4]
C. Adab-adab Safar
Berikut ini adalah diantara adab-adab dalam melakukan safar yang hendaknya diperhatikan dan dijaga oleh seorang muslim yang hendak bepergian, traveling atau jalan-jalan.
𝟭. 𝗡𝗶𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗲𝗻𝗮𝗿 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗕𝗲𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶𝗮𝗻
Diantara hal yang harus dijaga oleh seorang muslim dalam setiap pekerjaannya adalah niat. Karena niat inilah yang akan memberikan nilai atas sebuah amal yang dikerjakan. Niat juga yang akan membuat suatu kebiasaan atau hal mubah lainnya bernilai ibadah, atau sebaliknya menjadikan hal mubah bahkan ibadah menjadi sia-sia karena ketiadaan niat yang baik saat melakukannya.
Rasulullah ﷺ bersabda :
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang hanya akan mendapatkan sesuatu sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim)
Sehingga ketika kita misalnya hendak melakukan bepergian yang hukumnya mubah seperti jalan-jalan atau tamasya jangan pernah meninggalkan niat yang baik, seperti untuk tadabbur alam, atau mungkin silaturahim, atau untuk menyempatkan hadir di majelis ilmu, bersedekah atau minimal tidak meniatkan adanya hal sia-sia apalagi maksiat dalam safar nanti.
𝟮. 𝗠𝗲𝗺𝗶𝗹𝗶𝗵 𝗧𝗲𝗺𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗮𝗶𝗸
Diantara kesunnahan melakukan perjalanan adalah memilih teman safar dan tidak bepergian sendirian. Bahkan sebagian ulama khususnya dari kalangan syafi’iyyah menganggap makruh safar seorang diri. Berkata al imam Ramli rahimahullah :
..مكروها، ومنه أن يسافر وحده منفردا لا سيما في الليل لخبر أحمد وغيره ﷺ الوحدة في السفر ولعن راكب الفلاة وحده أي إن ظن لحوق ضرر به وقال الراكب شيطان والراكبان شيطانان والثلاثة ركب فيكره أيضا اثنان فقط لكن الكراهة فيهما أخف
“Dan yang makruh, termasuk di antaranya adalah bepergian sendirian, terutama pada malam hari, berdasarkan hadits dari Imam Ahmad dan lainnya: “Nabi ﷺ tidak menyukai kesendirian dalam perjalanan, dan beliau melaknat orang yang bepergian sendirian di padang luas,” terutama jika ia mengira akan menghadapi bahaya.
Nabi ﷺ juga bersabda: “Satu orang yang bepergian sendirian adalah bersama setan, dua orang yang bepergian adalah bersama dua setan, dan tiga orang adalah rombongan.” Oleh karena itu, bepergian dalam kelompok yang hanya ada dua orang juga makruh, meskipun kemakruhannya lebih ringan daripada bepergian sendirian.”[5]
Namun bila safar tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki keberanian lagi bertaqwa, dia lebih merasa dekat dengan Allah dalam kesendirian dari pada bergabung dalam rombongan, maka dalam hal ini kalangan Syafi’iyyah mengatakan tidak ada kemakruhannya, karena sendirinya menyamai orang lain yang berombongan.[6]
𝟯. 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝗮𝗺𝗶𝗿 𝘀𝗮𝗳𝗮𝗿
Diantara adab dan kesunnahan bepergian adalah mengangkat satu pemimpin atau penanggung jawab dalam safar tersebut. Al imam Nawawi dalam kitab riyadhusshalihinnya mencantumkan satu bab berjudul : Disunnahkan Mencari Teman Perjalanan dan Menunjuk Pemimpin diantara Mereka yang ta’at.[7]
Hal ini didasarkan kepada sebuah hadits, di mana Rasulullah ﷺ bersabda :
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ.
“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.” (HR. Abu Daud)
Bersambung …
_______
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (25/26)
[2] At Ta’rifat hlm. 1985
[3] Al Inayah Syarah al Hidayah (2/46)
[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (25/26)
[5] Nihayah al Muhtaj (2/248)
[6] Tuhfah al Muhtaj (2/269)
[7] Riyadhusshalihin hlm. 297